SEKILAS ISLAM dan NEGARA DALAM PANDANGAN SEKARMAJI MARIJAN KARTOSUWIRYO
Kartosuwiryo adalah seorang Tokoh Pejuang Islam Revolusioner yang dalam sejarah kita di catat dengan tinta agak kelam kalau tidak boleh dikatakan hitam. Namun setelah mendalami pemikirannya dari beberapa literatur sesungguhnya "Beliau" adalah seorang yang istiqomah (teguh pendirian) dan memiliki kecintaan yang mendalam terhadap Islam. berikut pemikiran beliau (As-Syahid S. M. Kartosuwiryo) yang penulis kutip dari beberapa literatur.
Negara Islam! Itulah cita-cita hakiki bagi Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (SM Kartosuwiryo) bahkan untuk merealisasikan tujuan tersebut ia rela untuk diburu bahkan diberikan hukuman mati oleh pemerintah Soekarno pada saat itu. Kartosuwiryo sedemikian rupa memperjuangkan Negara Islam. Bagi seorang Kartosuwiryo demi terwujudnya masyarakat Islam yang sempurna baik pada tataran ibadah maupun muamalah serta hukum, maka yang dibutuhkan untuk hal itu adalah sebuah Negara Islam. Seperti yang terdapat pada kaidah Ushul fiqh yang menyatakan bahwa “sesuatu yang dikarenakan keberadaannya untuk menuju sesuatu yang telah diwajibkan maka keberadaannya menjadi wajib”. Karena itu keberadaan Negara Islam adalah wajib adanya dikarenakan dengan perantara Negara tersebut maka aturan–aturan mengenai syariat akan menjadi lebih sempurna.
Meskipun pada tahap awal perjuangannya dilakukan melalui perantara parlemen dengan menggunakan kendaraan partai seperti di PSII pada periode sebelum kemerdekaan dan Masyumi setelah di era awal–awal kemerdekaan, namun dikarenakan adanya kekecewaan yang sangat dalam pada diri Kartosuwiryo mengenai teman-temannya di parlemen, Kartosuwiryo kemudian berinisiatif untuk berjuang di luar parlemen. Hal ini dapat dibuktikan dalam sebuah dokumentasi yang disusun oleh majelis penerangan negara Islam bahwa Kartosuwiryo dilukiskan sebagai pribadi yang mempunyai intelektualitas tinggi, namun ia tak pernah memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya karena ia selalu berada pada sebuah lingkungan orang-orang yang tujuan utamanya hanya untuk mengejar kekuasaan belaka. (“Darul Islam dan Kartosuwiryo”/Holk H Dengel). Hal tersebut diperburuk ketika Amir Syarifudin naik menjabat sebagai Perdana Menteri menggantikan Syahrir. Karena bagi Kartosuwiryo Amir Syarifudin merupakan musuh dalam selimut karena ia telah menjual Negara Indonesia (Pasundan) kepada para penjajah terutama ketika terjadi Perjanjian Renville.
Jalan Menuju Sebuah Negara Islam
Selama hampir lima tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945–1950). Menyusul kekalahan Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia. Dan tak diragukan lagi bahwa yang diprioritaskan oleh para pendiri bangsa pada saat itu adalah kemampuan untuk memperahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa. Bahkan setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah pada tahun 1949 kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang cukup besar melalui perantara partai politik Islam Masyumi, yang dibentuk pada bulan November 1945. Untuk alasan itu sampai-sampai Syahrir, seorang pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri di era revolusi, menyatakan “Jika pemilihan umum dilaksanakan pada tahun-tahun tersebut, maka Masyumi yang pada saat itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modernis seperti Muhammadiyah dan ortodoks seperti NU, dengan jumlah anggotanya lebih besar di daerah pedesaan akan memperoleh 80 persen suara. (“Islam dan Negara” /Bachtiar Effendy).
Mengingat begitu besarnya keberadaan organisasi politik ini maka hal ini tidak luput dari perhatian Kartosuwiryo dan ia pun masuk menjadi pengurus sebagai sekertaris dewan eksekutif. Semakin tambah besarnya organisasi politik ini semakin bertambah pula keanggotaan dari partai ini bahkan sampai membuka cabang-cabang keseluruh nusantara, berkaitan dengan hal ini kemudian Kartosuwiryo ditugaskan untuk membentuk Masyumi daerah Priangan. Dan berdasarkan keputusan Konferensi Masyumi daerah Priangan diputuskan bahwa Kartosuwiryo menjadi wakil ketua sedangkan ketua umum sendiri dijabat oleh KH Muchtar dan Sanusi Partawidjaja sebagai sekertaris badan pengurus.
Fenomena perkembangan Masyumi ini membuat para penjajah dan kalangan nasionalis sekuler menjadi kalang kabut, hal ini menyebabkan semakin meruncingnya keadaan sosial politik dan militer terutama di daerah Priangan pada saat itu. Hal ini dikarenakan banyak pasukan sekutu dan Belanda yang menjadikan daerah Priangan sebagai basis inti mereka, dan di lain pihak dari pihak Republik juga menempatkan divisi Siliwangi yang terkenal cukup handal. Hal inipun tidak membuat kalangan Islam bersantai, merekapun kemudian bertindak dengan membentuk lasykar-lasykar yang kemudian pada kongres Masyumi pertama di Yogyakarta ditetapkan untuk membentuk laskar baru selain Hizbullah yang kemudian diberi nama Sabilillah yang terdiri dari generasi yang lebih tua. Bahkan guna mencapai koordinasi yang lebih baik di antara sesama anggota lasykar maka dibentuklah Markas Daerah Priangan Barat (MDPP) yang didirikan pada tanggal 15 September 1945 di Bandung. Kekuatan kelompok ini masih terasa cukup besar sampai dengan tahun 1947, namun setelah itu mulai tampak tabiat asli dari umat Islam yang sulit sekali untuk bersatu ketika menyangkut masalah politik, yaitu ketika KNIP mengadakan sidang di Malang untuk memutuskan apakah Perjanjian Linggarjati sebagai dampak agresi militer Belanda I, dapat disetujui atau tidak. Kartosuwiryo termasuk politikus Masyumi yang sangat keras penolakannya pada perjanjian tersebut, karena ia menilai perjanjian tersebut sangat merugikan pihak pejuang kemerdekaan yang sedang berjuang di daerah Priangan.
Hal ini semakin diperburuk lagi dengan adanya dukungan Kabinet Amir Syarifudin terhadap perjanjian tersebut, kedua hal ini membuat para pejuang dan lasykar Islam semakin terjepit. Spontan permasalahan tersebut di atas membuat Masyumi dijadikan sebagai musuh bersama oleh para penjajah dan nasionalis sekuler dibawah pimpinan Amir Syarifudin. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibentuknya Dewan Mobilisasi Oemat Islam yang diprakarsai oleh Soetoko pada bulan Agustus 1947, dewan ini bertujuan untuk melucuti persenjataan lasykar Islam di daerah Priangan sebagai akibat Perjanjian Linggarjati. Namun hal tersebut tidak digubris oleh pimpinan lasykar bahkan pada saat itu tak jarang terjadi bentrokan antara tentara Republik dan tentara Lasykar. Tepat pada Agustus 1945 tentara Republik diharuskan pindah menuju Jawa Tengah sebagai konsekwensi pelaksanaan Perjanjian Renville sebagai akibat dari agresi militer Belanda II. Namun hal tersebut tidak dipatuhi oleh lasykar terutama Sabilillah dan Hizbullah, mereka bersama Kartosuwiryo masih menetap di Jawa Barat dan sudah mendapat persetujuan dari Panglima Soedirman. Hal ini didasarkan pada cerita wartawan Antara yang bertemu dengan Pak Dirman yang kemudian menanyakan tentang status Jawa Barat yang dijawab pak Dirman dengan kata-kata: “saya sudah menempatkan orang saya di sana,“ dan yang dimaksud dengan orang saya adalah Kartosuwiryo. (“Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo”/ Irfan S Awwas)
Sikap pindahnya pasukan TNI sebenarnya sangat disesalkan oleh Kartosuwiryo, karena Kartosuwiryo atau masyarakat di daerah Priangan yang menganggap seolah-olah pasukan TNI meninggalkan mereka untuk diserahkan kepada pihak kolonial. Hal inilah kemudian yang menyebabkan mengapa masyarakat daerah Priangan mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan gerakan Darul Islam di kemudian hari. Segera setelah Perjanjian Renville, R. Oni yang menjabat sebagai ketua Sabilillah dan Kamran sebagai ketua Hizbullah mengadakan pertemuan dengan Kartosuwiryo untuk membahas situasi politik dan militer pada saat itu dan keduanya sepakat bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat (“Darul Islam Sebuah Pemberontakan“/C. Van Dijk). Selain itu hasil pertemuan itu kemudian menghasilkan keputusan untuk membentuk Majelis Islam dan mengangkat SM Kartosuwiryo menjadi Imam dan panglima tertinggi DI/TII dan R Oni bertugas menjadi panglima TII yang tugas utamanya menyusun pasukan pertahanan dalam waktu tiga bulan. Setelah melihat adanya vaccum of power. Kartosuwiryo kemudian membentuk semacam dewan pemerintah yang membawahi departemen seperti sekertaris yang dijabat oleh Suparja, bendahara Sanusi Partawijaya, Departemen Penerangan dan Kehakiman dipegang oleh Toha Arsyad dan Gozali Tusi.
Itulah beberapa ijtihad yang dilakukan Kartosuwiryo berkaitan dengan situasi dan kondisi sosial politik pada saat itu. Adapun kebijakan tersebut diambil Kartosuwiryo dalam rangka persiapan pembentukan Negara Islam Indonesia (NII), karena dalam waktu-waktu tersebut sekitar 1948-1949 Kartosuwiryo masih menunggu sikap pemerintah RI dari kebijakan yang diambil tersebut. Barulah ketika pemerintah RI tidak memberikan respon, Kartosuwiryo melakukan proklamasi berdirinya NII pada tanggal 7 Agustus 1949. Meskipun ada upaya dari M Natsir agar Kartosuwiryo untuk bisa kembali ke Masyumi ternyata gagal, dikarenakan surat dari M Natsir kepada Kartosuwiryo terlambat datang sekitar tiga hari setelah berdirinya NII, sehingga Kartosuwiryo menolak untuk membatalkannya. (“M Natsir dan Darul Islam”/Hendra Gunawan)
Setelah memproklamirkan Negara tersebut Kartosuwiryo lebih memilih untuk tidak bekerja-sama dengan pihak manapun baik Belanda dan Republik, sehingga ia mulai mendemonstrasikan pengalamannya ketika ia membuat sikap politik hijrah PSII, bagi dia hanya ada dua tempat pilihan bagi manusia yaitu Darul Islam atau Darul Kufar.
Комментарии
Отправить комментарий